PENDAHULUAN
Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare adalah dua
penyakit yang menjadi pencetus utama meningkatnya angka kesakitan dan
kematian terutama pada anak anak usia dibawah lima tahun. Kondisi ini
ditegaskan berdasarkan hasil penelitian oleh Group Epidemologi dan Kesehatan
Anak (WHO) yang memperkirakan sekitar 1.3 juta anak anak dibawah usia 5
tahun meninggal disebabkan oleh infeksi pernafasan akut (Kovacs et al., 2015) .
Selain itu, Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit Dunia (Centre for
Disease Control and Prevention) menyebutkan sejak tahun 2011 penyebab utama
kesakitan dan kematian pada anak anak di negara berkembang adalah infeksi
pernafasan akut dan diare yang juga menjadi penyebab terbesar kematian di
seluruh dunia. Sebagai tambahan, diperkirakan sekitar 3.8 juta anak anak dibawah
5 tahun meninggal setiap tahun akibat infeksi pernafasan akut dan diare (Halder et
al., 2010). Berdasarkan penelitian pada tahun 2008, diare menjadi penyebab
kedua kematian anak usia dibawah 5 tahun didunia dan memberikan kontribusi
angka kesakitan anak anak didunia dimana terhitung sekitar 1.7 juta anak anak
meninggal setiap tahunya (Luby et al., 2008).
Sebagai negara berkembang, Indonesia juga menghadapi masalah dan
memiliki pengalaman mengenai dampak penyebaran infeksi pernafasan akut dan
diare. Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), riset pada tahun 2013 dan
2017 menjelaskan bahwa infeksi pernafasan akut adalah penyakit yang
menduduki posisi 5 besar angka insidensi tertinggi (Kementrian Kesehatan RI,
2017), dimana periode prevalensi mencapai 25.5% sedangkan insiden dan
prevalensi kejadian diare pada semuau kelompok umur sekitar 3.6% dan 7.0%.
Riset RISKESDAS pada tahun 2017 melaporkan 5 provinsi dengan angka
insidensi kejadian infeksi pernafasan akut tertingi adalah Nusa Tenggara Timur
(41.7%), Papua (31.1%), Aceh (30.0%), Nusa Tenggara Barat (28.3%), dan Jawa
37
Timur (28%).
Disisi lain, berdasarkan cakupan monitoring per provinsi angka insidensi
dan prevalensi kasus diare adalah Papua (6.3% dan 14.7%), Sulawesi Selatan
(5.2% dan 10.2%), Aceh (5.0% dan 9.3%) Sulawesi Barat ( 4.7% dan 10.1%) dan
Sulawesi Tengah (4.4% dan 8.8%). Selain itu angka insidensi kasus diare dibawah
usia 5 tahun sekitar 6.7% dari total populasi tidak tercakup didalam pelaporan
survey.
Secara spesifik, lima besar provinsi dengan angka kejadian kasus diare
yang tertinggi secara significant dan terjadi pad anak anak usia dibawah 5 tahun
adalah Aceh (10.2%), papua (9.6%), Jakarta (8.9%), Sulawesi Selatan (8.1%), dan
Banten (8.0%). Sejauh ini di Indonesia angka insidensi kasus diare di latar
belakangi oleh lemahnya ketersediaan fasilitas sanitasi, pendidikan, dan kondisi
geografik (Ministry of Health Republic of Indonesia, 2017).
Hasil riset Riskesdas tahun 2017 menunjukkan bahwa tiga besar provinsi
di Sumatera dengan kasus prevalensi infeksi pernafasan akut yaitu Aceh (30%),
Sumatera Barat ( 25.7%), dan Kepulauan Bangka Belitung (24%). Berdasarkan
hasil Riskesdas jika dibandingkan dengan target nasional (kurang dari 20%)
kejadian infeksi pernafasan akut di provinsi kepulauan Bangka Belitung masih
cukup tinggi.
Riskesdas tahun 2013 dan 2017 juga melaporkan bahwa provinsi
Kepulauan Bangka Belitung memiliki angka insidensi yang tinggi terhadap
kejadian infeksi pernafasan akut, dan merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang juga memiliki masalah dengan penyebaran infeksi pernafasan akut dan diare.
Lebih lanjut lagi, insidensi diare di provinsi kepulauan Bangka Belitung
mengalami peningkatan. Jumlah kunjungan berobat penderita diare yang datang
ke Puskesmas pada tahun 2013 sekitar 28.668 orang, dan mengalami peningkatan
di tahun 2018 (Departemen Kesehatan Provinsi Bangka Belitung Province,
2018).
Belitung adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung yang sampai saat ini berhadapan dengan permasalahan infeksi
pernafasan akut dan diare. Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung melaporkan
bahwa terjadi peningkatan insidensi infeksi pernafasan akut dan diare dari tahun
2014 yaitu 33.296 dan 1.652, peningkatan ditahun 2018 yaitu 40.435 dan 3.567.
Selain itu berdasarkan pelaporan Studi Penilaian Resiko Kesehatan Lingkungan
(EHRA) sekitar 23.5% dari populasi di Kabupaten Belitung menderita sakit
akibat infeksi pernafasan akut dan diare.
Studi EHRA tahun 2014 melaporkan bahwa sekitar 20% rumah tangga di
Belitung tidak menggunakan sabun saat mencuci tangan sebelum makan dan
sesudah beraktivitas di kamar mandi. Perilaku yang tidak higienis dalam
melakukan cuci tangan tanpa menggunakan merupakan sumber penyebaran
penyakit infeksi. Hasil riset membuktikan bahwa setidaknya sekitar 20 jenis
virus, banteri dan protozoa enteric patogen dan rotavirus berpotensial melekat
pada kotoran atau feses dan akan bertranmisi melalui tangan yang tidak bersih
menyebabkan infeksi pernafasan akut dan diare (Curtis and Cairncross, 2003).
Kabupaten Belitung dengan kondisi karakterisrtik geograpic dan
demografi memiliki resiko mengalami penyebaran penyakit menular seperti
infeksi pernafasan akut dan diare. Dikarenakan Kabupaten Belitung terdiri dari
gugusan pulau dan daerah pesisir pantai yang tersebar di seluruh wilayah
kepulauannya dengan kondisi populasi yang masih rendah mengenai pengetahuan
kebersihan diri, rendahnya fasilitas higienis, dan kekurangan sumber air bersih
(Dinas Kesehatan Provinsi Bangka Belitung, 2018). Kejadian infeksi pernafasan
akut dan diare ini berasal dari buruknya sanitasi dan rendahnya kesadaran diri
serta kurangnya pengetahuan mengenai praktek higienis (Dinas Kesehatan
provinsi Bangka Belitung, 2018)
37
Infeksi pernafasan akut dan diare juga biasanya menular dalam lingkungan
sekolah dasar dikarenakan lingkungan yang ramai dimana murid murid sekolah
dasar melakukan aktivitas belajar dan bermain baik didalam kelas maupun diluar
kelas, demikian pula interaksi diantara murid murid dalam lingkungan yang dekat,
sering dan ramai. Lingkungan sekolah yang ramai, berbagi objek seperti mainan
dan makanan, dan kurangnya kesadaran diri adalah faktor yang dapat
menyebabkan penyebaran mikro organisme patogen (Vessey et al., 2007). Melalui
tangan yang terkontaminasi mikro organisme dengan mudah transmisi
mikroorganisme diantara murid murid (Center for Disease Control and
Prevention, 2011). Inilah alasan mendasar bahwa murid murid sekolah dasar
berada pada posisi potensial mengalami penyebaran infeksi pernafasan akut dan
diare, dan bukan hanya anak anak disekolah saja tetapi juga berpotensi menyebar
ke lingkungan komunitas (Vessey et al., 2007).
Perilaku mencuci tangan adalah metode yang paling efektif dalam
pencegahan penularan penyakit melalui tangan, kerena tangan dapat menjadi
media yang potensial membawa bibit penyakit patogen . mencuci tangan yang
tepat juga menjadi faktor kunci dalam mengurangi penularan diare dalam
lingkungan komunitas terutama mencuci tangan menggunakan air mengalir dan
sabun, hal tersebut akan mengurangi penyebaran infeksi pernafasan akut dan diare
(Biran et al., 2008). Sebuah penelitian yang dilakukan di Pakistan melaporkan
bahwa mencuci tangan menggunakan air bersih mengalir dan sabun adalah sebuah
intervensi yang baik mampu menurunkan 53% penularan infeksi pernafasan akut
dan diare menggunakan sabun anti bakteri dan alkohol terutama pada jenis sabun
bersanitasi dilaporkan pula mampu menurunkan angka insidensi penyakit diare.
Perilaku mencuci tangan yang sederhana dan tidak memakan waktu lama telah
membuktikan menurunkan angka kejadian diare sekitar 47% dan infeksi
pernafasan akut sekitar 34% (Curtis and Cairncross, 2003). Perilaku mencuci
tangan juga secara spesifik direkomendasikan untuk pencegahan penyakit
penyakit pandemik seperti syndrom infeksi gawat pernafasan akut (Talaat et al.,
2011).
Perilaku mencuci tangan yang tepat pada anak anak usia sekolah dasar
sangatlah penting untuk dikenalkan sekaligus sebagai strategi dan tindakan yang
tepat untuk meningkatkan status kesehatan komunitas. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa infeksi saluran pernafasan akut dan diare dapat
ditularkan melalui tangan, dan jika tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat
secara langsung menyebarkan infeksi dilingkungan komunitas seperti sekolah
tersebut. Strategi pencegahan yang baik dalam perilaku mencuci tangan ini dapat
menghalangi dan menjauhkan virus atau bakteri dari lingkungan anak sekolah
dasar (Luby et al., 2008; World Health Organization, 2009). Inisiasi dan
pemantapan perilaku mencuci tangan pada anak sekolah dasar terutama di wilayah
pesisir pantai dan perairan adalah strategi yang tepat untuk membangun
pemahaman mengenai bagaimana mereka melindungi diri mereka dari penyakit
infeksi yang ditularkan melalui tangan.
Dalam praktik mencuci tangan atau perilaku mencuci tangan banyak sekali
korelasi faktor yang diperlukan untuk mengidentifikasi seberapa efektif perilaku
itu akan dilaksanakan. Salah satu teori yang dapat dijadikan sebagai korelasi
faktor perilaku mencuci tangan itu adalah teori Health Belief Model (HBM).
HBM sangat aplikatif untuk menilai hubungan antara perilaku mencuci
tangan dengan variabel variabel mulai dari karakterisktik demografi, pengetahuan,
hingga persepsi kesehatan yang menjadi konstruksi utama dari teori HMB itu
sendiri. Dalam hal ini Teori HBM menjadi panduan untuk menilai hubungan
persepsi dengan perilaku seperti persepsi resiko penyakit, persepsi keseriusan
penyakit, persepsi keuntungan perilaku, persepsi hambatan melakukan perilaku,
dan pencetus perilaku (Hayden, 2009)